Monday 15 April 2013

“Jangan kecewa jika dunia tidak mengenalmu, tapi kecewalah jika kamu tidak mengenal dunia”


A.Logika
       Dalam permasalahan logika satuan proposisi terkecil yakni “kata”. Kata menjadi penting karena merupakan unsur dalam membentuk pemikiran. Pada praktiknya kata dapat dilihat berdasarkan beberapa pengertian yakni positif (penegasan adanya sesuatu), negatif (tidak adanya sesuatu), universal (mengikat keseluruhan), partikular (mengikat keseluruhan tapi tak banyak), singular (mengikat sedikit/terbatas), konkret (menunjuk sebuah benda), abstrak (menunjuk sifat, keadaan, kegiatan yang terlepas dari objek tertentu), mutlak (dapat difahami sendiri tanpa hubungan dengan benda lain), relatif (dapat difahami sendiri jika ada hubungan dengan benda lain), bermakna/tak bermakna, dsb.
Logika sebagai teori penyimpulan, berlandaskan pada suatu konsep yang dinyatakan dalam bentuk kata atau istilah, dan dapat diungkapkan dalam bentuk himpunan sehingga setiap konsep mempunyai himpunan, mempunyai keluasan. Dengan dasar himpunan karena semua unsur penalaran dalam logika pembuktiannya menggunakan diagram himpunan, dan ini merupakan pembuktian secara formal jika diungkapkan dengan diagram himpunan sah dan tepat karena sah dan tepat pula penalaran tersebut.
Pengertian ini tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa seseorang dengan sendirinya mampu menalar atau berpikir secara tepat hanya jika ia mempelajari logika. Namun , di lain pihak, harus juga diakui bahwa orang yang telah mempelajari logika (sudah memiliki pengetahuan mengenai metode-metode dan prinsip-prinsip berpikir), mempunyai kemungkinan lebih besar untuk berpikir secara tepat ketimbang orang yang sama sekali tidak pernah berkenalan dengan prinsip-prinsip dasar yang melandasi setiap kegiatan penalaran.
Dengan ini hendak dikatakan bahwa suatu studi yang tepat tentang logika tidak hanya memungkinkan seseorang untuk memperoleh pengetahuan mengenai metode-metode dan prinsip-prinsip berpikir tepat saja, melainkan juga membuat orang yang bersangkutan mampu berpikir sendiri secara tepat dan kemudian mampu untuk membedakan penalaran yang tepat dari penalaran yang tidak tepat.
Di dalam al-Qur’an terdapat banyak ayat-ayat yang memerintahkan kita untuk menggunakan akal untuk memahami segala yang wujud. Karena akal ini tidak lain daripada proses berfikir yang menggunakan metode logika analogi (qiyas al-‘aqli), maka metode yang terbaik adalah metode demonstrasi (qiyas al-burhani). Sama seperti qiyas dalam ilmu Fiqh (qiyas al-fiqhi), yang digunakan untuk menyimpulkan ketentuan hukum. metode demonstrasi (qiyas al-burhan) digunakan untuk mamahami segala yang wujud (al-maujudat). Dari pemahaman tersebut merupakan asas bagi kesimpulan Ibn Rushd yang menyatakan bahwa para filosof memiliki otoritas untuk menta’wilkan al-Quran.
Berasaskan pada kemampuan akal manusia, ia terbagi kedalam tiga kelompok: Pertama “kelompok ahli awam”, metode ilmu pngetahuan yang sesuai untuk ahli awam ini adalah khathabi (retoris), dengan begitu al-Quran tidak dapat di ta’wilkan, karena mereka hanya orang-orang yang memahami al-Quran secara tertulis. Kedua, “kelompok pendebat”, untuk para pengguna metode ilmu pengetahuan secara dialetik ini ta’wil juga sulit diterapkan. dan ketiga adalah “kelompok ahli hikmah (ahli fikir)”, merekalah orang-orang yang menggunakan metode burhani (demonstratif), sementara ta’wil secara tertulis dalam bentuk karya, hanya bisa diperuntukkan bagi kaum ahli hikmah ini.
B. Syari’ah dzahir dan batin
Wahyu dibagi kedalam tiga bentuk makna yang terkandung didalamnya yaitu :
• Teks yang maknanya dapat difahami dengan tiga metode yang berbeda (metode retorik, dialektik dan demonstratif)
• Teks yang maknanya hanya dapat diketahui dengan metode demonstrasi. Makna yang terkandung dalam teks ini terdiri dari:
a) makna dzahir, yaitu teks yang mengandung simbol-simbol (amtsal) yang dibuat untuk menerangkan idea-idea yang dimaksud.
b) makna batin, yaitu teks yang mengandungi idea-idea itu sendiri dan hanya dapat difahami oleh yang disebut ahli al-burhan.
• Teks yang bersifat ambiguos antara dzahir dan batin. Klassifikasi teks wahyu ini juga merujuk kepada kemungkinan untuk dapat difahami dengan akal.
Maka itu ia memahami istilah “ta’wil” sebagai penafsiran dan penjelasan ucapan, ia tetap menekankan pada kesesuaiannya dengan makna dzahir dari lafadz ucapan itu. Dalam pandangannya perkataan dzahir yang dapat difahami dari lafadz bermacam-macam bentuknya, ada yang menurut konteksnya dan ada pula yang difahami sesuai dengan ikatan-ikatan yang ada didalamnya.
Untuk itu, ditetapkan tiga syarat, agar ta’wil itu dapat diterima:
1) menjaga agar lafadz itu sesuai dengan makna yang terdapat dalam Bahasa Arab dan maksud al-syari’ serta tidak memahami dengan makna lain.
2) menjaga agar maknanya sesuai dengan yang dimaksudkan oleh pembicara dalam konteks lafaznya.
3) memperhatikan “mustawa al-ma’rifi” (tingkatan nalar dan pengetahuan) kepada siapa “ta’wil” itu dihadapkan.
Oleh itu kita tidak boleh menta’wilkan lafadz-lafadz al-Qur’an dengan sesuka hati tanpa mengkaji maksud yang sesungguhnya sesuai dengan konteks masing-masing lafadz.
C.Penciptaan alam
Ayat-ayat Allah terbagi atas dua macam: yaitu ayat-ayat berupa Kitab Suci (qauliyah) dan yang Kedua adalah ayat-ayat berupa alam semesta sebagai ciptaan Allah (kauniyah). Menurut sebagian ulama, alam semesta justru merupakan ayat-ayat Allah yang pertama. Dikatakan demikian, karena sebelum Allah SWT menurunkan Kitab Taurat, Injil, dan al-Quran, Allah telah menciptakan alam jagat raya ini. Karena alam adalah ayat, maka sebagaimana sepotong firman adalah ayat, maka sejengkal alam juga ayat. Sebagai ayat, alam ini selalu bergerak memenuhi tujuan penciptaan. Karena itu, penelitian terhadap alam diduga kuat dapat mengantar manusia menemukan dan meyakini wujud Allah dan kuasa-Nya.
Ada tiga macam “wujud”  :
• Wujud baru (karena sebab sesuatu) Dari sesuatu yang lain, dan kerena sesuatu. Yakni zat pembuat dari benda, ini adalah benda yang kejadiannya bisa terlihat oleh panca indra, seperti terjadinya air, udara, bumi, hewan, tumbuh-tumbuhan, dsb.
Wujud Qodim (tanpa sebab sesuatu) yaitu wujud yang bukan dari sesuatu, tidak karena sesuatu, dan tidak didahului oleh zaman. Wujud ini tidak dapat diketahui dengan bukti-bukti fikiran, seperti “Tuhan”
• Wujud Antara (Wujud diantara kedua wujud ini) wujud yang bukan dari sesuatu, dan tidak didahului oleh zaman, tetapi wujud karena sesuatu (yaitu zat pembuat), wujud itu adalah “alam dan keseluruhan

No comments: