Friday 29 March 2013

MADZHAB SHAHABY




Setelah wafat Rosul SAW. , hak berfatwa dan membentuk hukum-hukum untuk kepentingan umat islam diserahkan kepada para sahabat . mereka mengerti tentang fiqih dan ilmu pengetahuan, lama hidup bersama rosul, serta memahami al-Qur'an dan hukum-hukum yang ada di dalamnya. Ada banyak fatwa mereka yang berbeda-beda, pada beberapa kasus. Ada sebagian tabi'in, dan tabi'it tabi'in yang memperhatikan periwayatan dan pengkodifikasiannya, sehingga ada yang membukukannya bersamaan dengan pembukuan hadis rosul. Apakah fatwa ini bisa dijadikan sumber hukum syari'at, yang wajib bagi mujtahid untuk menjadikannya rujukan sebelum menggunakan qiyas? Atau sebuah pendapat ijtihad individual yang tidak bisa dijadikan hujah bagi umat islam.
Ringkasnya dalam masalah ini, bahwa tidak ada perselisihan tentang qoul sahabat yang tidak dapat dijangkau oleh akal, dan bisa dijadikan hujah bagi umat islam. Karena ucapan tersebut pasti didengar dari Rosul SAW. Seperti ucapan 'Aisyah Ra. :" kehamilan dalam perut ibu tidak akan lebih dari 2 tahun, kira-kira hasil tenunan sudah berubah. Pada contoh ini tidak tempat untuk berijtihad dan berpendapat. Jika benar maka sumbernya tentu didengar dari Rosul. Dan itu termasuk hadist, walaupun secara dhohir berupa ucapan sahabat.
Tidak ada perselisihan lagi tentang qoul sahabat yang tidak bertentangan dengan sahabat yang lain, itu bisa dijadikan hujah. Karena kesepakatan mereka tentang hukum pada suatu kasus, bersamaan dengan dekatnya masa hidup mereka dengan Rosul SAW., serta pengetahuan tentang rahasia pengkodifikasian hukum syari'at dll., itu semua adalah bukti bahwa mereka menyandarkannya pada dalil yang pasti. Ini sama , ketika mereka sepakat bahwa pembagian warisan bagi nenek 1/6 , adalah hukum yang wajib diikuti dan tidak ada perselisihan di antara umat islam.
Hanya saja, perselisihan yang ada dalam masalah qoul sohabat, adalah ucapan yang bersumber dari pendapat dan ijtihad mereka, yang tidak ada kata sepakat dari para sahabat. Imam Abu Hanifah dan orang sependapat dengannya berkata:"Ketika saya tidak menemukan di qur'an dan hadist, maka saya mengambil dan menolak qoul sahabat semau saya, kemudian tidak berpaling dari qoul mereka ke yang lainnya." Imam Abu Hanifah tidak melihat pendapat individual sohabat, beliau hanya mengambil pendapat yang beliau mau, tetapi tidak bertentangan dengan pendapat para shahabat secara keseluruhan. Beliau dalam suatu kasus, tidak memperbolehkan qiyas , selama masih ada fatwa shahabat, bahkan mengambil sembarang qoul. Harapannya dari itu, perbedaan pendapat pada suatu kasus menjadi 2 qoul, adalah kesepakatan bahwa tidak ada lagi qoul yang ketiga, perbedaaan pendapat menjadi 3 qoul, adalah kesepakatan, bahwa tidak ada lagi qoul keempat. Menolak qoul mereka secara keseluruhan berarti sama saja menolak kesepakatan mereka.
Secara dhohir, perkataan Imam Syafi'i bahwa beliau tidak melihat satu pendapat shahabat tertentu menjadi hujah, boleh mempunyai pendapat yang berbeda dengan mereka, serta berijtihad menggali pendapat yang lain, itu semua karena pendapat tersebut merupakan ijtihad individual seseorang yang tidak ma'sum. Sama seperti kebolehan bagi satu shahabat untuk mempunyai pendapat yang berbeda dengan shahabat yang lain, tentu boleh bagi para mujtahid setelah mereka berdua untuk berpendapat yang berbeda. Oleh karena itu, Imam Syafi'i berkata:" Tidak boleh membentuk hukum dan berfatwa, kecuali bersumber dari khobar yang lazim, yaitu qur'an, hadist, ijma' dan qiyas."

Tangan Putri sakit



       Tangan Putri sakit atau ada penyakit yang ketika terkena air maka akan bertambah parah. Tapi anggota badan yang lainya sehat wal afiat. Apa boleh Putri mentayamumi tangan yang sakit, sedangkan tangan yang lain dengan wudlu?

Jawab: Tafshil
-       Jika lukanya terbuka, maka wajib tayamum dan wajib wudlu untuk anggota yang sehat .
-       Jika lukanya terbalut, maka wajib wudlu untuk anggota tubuh yang sehat, mengusap penutup luka, serta tayamum.
-       Jika lukanya tidak mungkin diusap dengan debu tayamum atau membahayakan, maka tidak perlu mengusapnya namun wajib mengulangi sholat.
Referensi : mughnil muhtaj 1/444, al-fiqhu ‘ala madzahibil arba’ah 1/162
مغني المحتاج ج 1 ص 443-444
رَوَاهُ أَبُو دَاوُد وَصَحَّحَهُ الْحَاكِمُ وَابْنُ حِبَّانَ ( وَإِذَا امْتَنَعَ اسْتِعْمَالُهُ ) أَيْ الْمَاءِ وُجُوبُهُ ( فِي عُضْوٍ ) مِنْ مَحَلِّ الطَّهَارَةِ لِنَحْوِ مَرَضٍ أَوْ جُرْحٍ ( إنْ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ سَاتِرٌ وَجَبَ التَّيَمُّمُ ) جَزْمًا لِئَلَّا يَبْقَى مَوْضِعُ الْعِلَّةِ بِلَا طَهَارَةٍ فَيُمِرُّ التُّرَابَ مَا أَمْكَنَ عَلَى مَوْضِعِ الْعِلَّةِ إنْ كَانَ بِمَحَلِّ التَّيَمُّمِ ، وَعُرِّفَ التَّيَمُّمُ بِالْأَلِفِ وَاللَّامِ إشَارَةً لِلرَّدِّ عَلَى مَنْ قَالَ مِنْ الْعُلَمَاءِ إنَّهُ يُمِرُّ التُّرَابَ عَلَى الْمَحَلِّ الْمَعْجُوزِ عَنْهُ ( وَكَذَا ) يَجِبُ ( غَسْلُ الصَّحِيحِ ) بِقَدْرِ الْإِمْكَانَ ( عَلَى الْمَذْهَبِ ) لِمَا رَوَاهُ أَبُو دَاوُد وَابْنُ حِبَّانَ فِي حَدِيثِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ فِي رِوَايَةٍ لَهُمَا { أَنَّهُ غَسَلَ مَعَاطِفَهُ وَتَوَضَّأَ وُضُوءَهُ لِلصَّلَاةِ ثُمَّ صَلَّى بِهِمْ } .قَالَ الْبَيْهَقِيُّ : مَعْنَاهُ أَنَّهُ غَسَلَ مَا أَمْكَنَهُ وَتَوَضَّأَ وَتَيَمَّمَ لِلْبَاقِي ، وَالطَّرِيقُ الثَّانِي فِي وُجُوبِ غَسْلِهِ الْقَوْلَانِ فِيمَنْ وَجَدَ مِنْ الْمَاءِ مَا لَا يَكْفِيهِ ، ذَكَرَ ذَلِكَ فِي الْمَجْمُوعِ ، وَذَكَرَ فِي الدَّقَائِقِ أَنَّهُ عَدَلَ عَنْ قَوْلِ الْمُحَرَّرِ وَغَسَلَ الصَّحِيحَ ، وَالصَّحِيحُ أَنَّهُ يَتَيَمَّمُ إلَى مَا فِي الْمِنْهَاجِ ؛ لِأَنَّهُ الصَّوَابُ ، فَإِنَّ التَّيَمُّمَ وَاجِبٌ قَطْعًا ، زَادَ فِي الرَّوْضَةِ لِئَلَّا يَبْقَى مَوْضِعَ الْكَسْرِ بِلَا طُهْرٍ .
الفقه على المذاهب الأربعة ج 1 ص  162
ومثل ذلك ما إذا كان المرض في عضوين متواليين في الترتيب كالوجه والذراعين فإنهما إذا عمهما المرض فيكفي أن يتيمم لهما تيمما واحدا بعد أن يغسل الجزء السليم ويمسح على الجبيرة بدلا من غسل الجزء الصحيح المستتر بالجبيرة  هذا إذا كان العضو المريض مربوطا فإن لم يكن مربوطا فإنه يفترض عليه غسل العضو السليم والتيمم بدل غسل العضو المريض ولا يمسح على محل المرض بالماء لما عرفت أن المسح ليس مشروعا عندهم الا إذا كان بدلا من غسل الجزء السليم الذي يستره رباط الجزء المريض فهو بمنزلة المسح على الخف أما إذا كان العضو مكشوفا ولا يمكن غسله فإنه لا يكون لمسحه معنى والتيمم يقوم مقام غسله فلا معنى لمسحه في هذه الحالة فإذا كان المرض في عضو من أعضاء التيمم ولا يمكنه مسحه بتراب التيمم أو كان ذلك المسح يضره فإنه يسقط عنه مسه وتجب عليه إعادة الصلاة بعد برئه في هذه الحالة.

Tangan buntung



      Putri hidup di desa santri. Setiap sore dia berangkat ke mushola untuk mengaji. Suatu ketika, saat dia berangkat ke mushola, dia menemukan sebuntal kresek. Karena penasaran dengan isinya, dia buka kresek itu. Ternyata isinya berupa tangan. Setelah di pegang ternyata tangan itu tangan manusia. Dia yakin tangan itu tangan laki-laki. Apakah wudhunya Putri batal gara-gara menyentuh tangan itu?

Jawab: Batal, apabila anggota badan itu diyakini berasal dari lain jenis.
Referensi : bajuri 1/69, nihayatuzzain 27
حاشية الباجوري على ابن قاسم الغزي ج 1 ص 69
ولا ينقض العضو المبان ولو وجد جزء امرأة فإن كان بحيث يطلق عليه اسم المرأة نقض وإلا فلا.
نهاية الزين ص 27
ولو قطعت المرأة جزأين فلا نقض بلمس أحدهما إلا اذا كان يطلق عليه اسم امرأة بمجرد النظر اليه.

Mushola



        Selain di masjid, sholat jama'ah juga banyak dilakukan di musholla-musholla baik yang sudah diwaqafkan ataupun yang belum.
Pertanyaan:  Apakah sama nilainya sholat berjama'ah di masjid dengan sholat berjama'ah di musholla pribadi yang belum diwakafkan?
Jawab: Musholla-musholla yang umum banyak terdapat di Indonesia tidak bisa dihukumi layaknya masjid, karena masjid adalah tempat yang diwakafkan sebagai masjid atau tempat sholat. Sehingga sholat lebih utama di masjid daripada di musholla.
Referensi : Mughnil muhtaj 2/383, Asybah wa nadhoir 1/275
مغني المحتاج - (ج 2 / ص 383)
 ( و ) الأصح ( أن قوله جعلت ) هذه ( البقعة مسجدا ) وإن لم يكن لله ( تصير به ) أي بمجرد هذا اللفظ ( مسجدا ) لأن المسجد لا يكون إلا وقفا فأغنى لفظه عن لفظ الوقف ونحوه

الأشباه والنظائر - شافعي - (ج 1 / ص 275)
 منها : الجماعة القليلة في المسجد القريب إذا خشي التعطيل لو لم يحضر فيه أفضل من الكثيرة في غيره .و منها الجماعة في المسجد أفضل منها في غيره و إن كثرت صرح به الماوردي لكن خالفه أبو الطيب

الأشباه والنظائر - شافعي - (ج 1 / ص 275)
القاعدة الثانية و العشرون الفضيلة المتعلقة بنفس العبادة أولى من المتعلقة بمكانها
 قال في شرح المهذب : هذه قاعدة مهمة صرح بها جماعة من أصحابنا و هي مفهومة من كلام الباقين  و يتخرج عليها مسائل مشهورة : الى ان قال ....ومنها : صلاة الفرض في المسجد أفضل منه في غيره فلو كان مسجد لا جماعة فيه و هناك جماعة في غيره فصلاتها مع الجماعة خارجة أفضل من الانفراد في المسجد